Penggemar Sepak Bola

"Menang kowe Mas Kluivert. Kowe lagek kenal langsung oleh atine. Lah aku sing kenal suwe mung dinggo ngobati larane."

Mungkin itu status media sosial yang pas untuk diunggah oleh coach Shin Tae-yong, lengkap dengan gambar quote ala bak truk.

Hari ini, Shin Tae-yong memang diberhentikan dari jabatannya sebagai Pelatih Timnas Indonesia. Namun, drama di lapangan hijau kali ini bukan tentang coach Shin, melainkan tentang bagaimana AC Milan berhasil mencuri hati saya.

Seingat saya, pertama kali saya menyaksikan sepak bola di televisi adalah pertandingan final Piala Dunia 1998 antara Brasil melawan Prancis. Si Ayam Jantan yang saat itu menjadi tuan rumah sukses membungkam Brasil dengan skor 3-0. Ya, saya menontonnya di televisi berwarna SHARP yang baru dibeli dua bulan sebelumnya.

Setelah itu, saya belum terlalu tertarik dengan seluk-beluk sepak bola, hingga akhirnya nama-nama seperti Batistuta, Totti, dan Bierhoff menjadi perbincangan hangat di antara teman-teman sebaya. Saya pun ikut terbawa arus, hingga mencoba menonton pertandingan mereka.

Saat itu, saya menonton pertandingan Udinese melawan AC Milan. Saya hanya menonton sekilas, yang saya ingat adalah Bierhoff mencetak gol dengan sundulan mautnya dan George Weah (yang kemudian menjadi Presiden ke-25 Liberia), serta skor akhir 1-5 untuk kemenangan AC Milan. Namun, saya tidak langsung mengklaim diri sebagai penggemar AC Milan. Saya terus mengikuti perkembangan sepak bola Eropa, khususnya Serie A dan Premier League.

Kakak saya—Alm. Al-Fatihah untuk beliau—yang saat itu berlangganan Tabloid Bola dan sesekali membeli Tabloid Soccer, membuat saya sering membaca kabar terbaru di dunia sepak bola. Sampai akhirnya saya tahu bahwa tim favorit kakak saya adalah Inter Milan. Mulai saat itu, saya putuskan, saya adalah Milanisti. Ya, namanya kakak beradik, nggak bisa dong selalu satu pendapat. Pokoknya harus beda pilihan. Saya harus menjadi rival abadi.

Masih di tahun yang sama, saya mulai tertarik dengan sepak bola Inggris. Ketertarikan itu muncul pada tim sialan Manchester United. Pasalnya, tahun itu MU meraih treble winner. Ditambah lagi, tim sialan itu juga memenangkan Piala Toyota (Piala Intercontinental). Saya sangat terkesima melihat penampilan Ryan Giggs di pertandingan melawan Palmeiras. Giggs dinobatkan sebagai Man of the Match dan berhak mendapatkan mobil Toyota Celica. Dengan euforia bocah fomo, saat itu saya minta dibelikan jersei MU (iya dong, masa minta dibelikan Toyota Celica juga) dengan nomor punggung 11. Ya, Ryan Giggs tentunya. Dan ini adalah jersei pertama yang saya miliki. KW 999 tentunya.

Tapi apakah hal itu membuat saya menjadi penggemar MU? Tidak donggg.... MU hanyalah khilaf sesaat. Mungkin karena jiwa rebel dalam diri ini membuat saya harus tetap menjadi rival kakak saya. Dan ini adalah keputusan yang tepat. Rival bukan berarti benci. Mencintai rival juga salah satu cara menyayangi.